Friday, July 23, 2010

Menjajal "Keperawanan" Citanduy tasikmalaya


Menjajal "Keperawanan" Citanduy
Arung Jeram Bisa Menjadi Agenda Wisata Tasikmalaya

CITANDUY yang perawan tak pernah bersolek. Ia tampil apa adanya, namun membuat para petualang penasaran dan tergila-gila. Bahkan, mereka menilai Citanduy lebih menggairahkan saat dijajal. Beberapa tempo lalu, sekelompok pecinta alam, yang tergabung dalam Nokken, mengaku puas setelah mengarungi arus Citanduy sekira 10 km, dari Cibodas, Cisayong, hingga Karangresik.

"Citanduy lebih alami ketimbang Sungai Citarik dan Cikandang (Sukabumi), atau Cisadane (Bogor) yang biasa dijadikan ajang arung jeram," ujar Koordinator Nokken Tasikmalaya, Eko Nugroho Boy. Jika potensi itu ke depan digarap serius, kata dia, sangat terbuka peluang. Wisata air di kawasan Tasikmalaya masih bisa dikembangkan lebih optimal.

"Di Kota Tasikmalaya, kita baru punya Situ Gede. Itu pun belum digarap dengan baik," katanya. Orang Tasik mungkin masih belum mengenal lebih jauh ihwal petualangan menyusuri sungai. Padahal, jika sudah mencoba sekali saja, boleh jadi akan kecanduan.

Rupanya itulah yang membuat Nokken mengundang kalangan pejabat, pengusaha, pers, dan kelompok swadaya masyarakat di Tasik beberapa waktu lalu untuk merasakan langsung jeram Citanduy. Memacu degup jantung di antara jeram, bisa melepaskan diri dari kepenatan dan panggung rutinitas.

Meskipun undangan yang hadir tidak lengkap, petualangan terus digulirkan. Dari eksekutif, tampak Drs. Bambang Sudaryana, M.Si., Ketua Perhimpunan Hotel Restoran Indonesia, Wahyu Trirahmadi, S.H., dan pengusaha lain tampak pula hadir. Forum Komunikasi Pecinta Alam Tasikmalaya (FKPAT) dan Orang Indonesia (Oi) pun mengirimkan utusannya. Titik awal keberangkatan dikonsentrasikan di taman rekreasi Karangresik.

Dengan menggunakan bus Pemda Kabupaten Tasikmalaya, rombongan di-drop di Cibodas (Cisayong), tepatnya di betulan Kantor Desa Nusawangi. Di sana sudah disiapkan tiga buah perahu karet -- dua buah jenis boogie dan satu buah avon -- lengkap dengan perkakas lainnya.

Avon berukuran lebih besar ketimbang boogie. Perahu karet ini biasa digunakan Marinir Inggris untuk menjelajahi sungai. Tingkat keamanannya lebih terjamin ketimbang boogie.

Namun, menurut Eko, siapa pun bisa berarung jeram dengan aman, selama mengikuti komando dari pemandu. "Yang penting harus percaya diri, apalagi kita dilengkapi dengan alat pelampung. Orang yang tidak bisa berenang pun dijamin aman," katanya. Kuncinya, imbuh Eko, konsentrasi dan saling menjaga.

Sebelum terjun ke sungai, seorang pemandu yang akrab dipanggil Mang Uho, memimpin briefing singkat. Ia memberikan teknik-teknik dasar menggunakan perlengkapan yang akan digunakan para pengarung jeram.

Setelah melakukan pemanasan, rombongan berkemas. Pelampung dan helm sudah dikenakan, masing-masing sudah siap dengan sebuah dayung. Mereka mulai bergerak turun ke tepi sungai. Di sana, boogie dan avon sudah ditambatkan. Boogie bisa ditumpangi enam sampai delapan orang, sedangkan avon bisa menampung sampai sepuluh orang.

Raut wajah peserta arung jeram -- terutama pemula -- menegang. Pasalnya, arus Citanduy tampak masih buas di mata mereka. Apalagi sepanjang Cibodas-Karangresik ada 45 jeram, di antaranya lima jeram dianggap memiliki kesulitan tingkat tinggi. "Tingkat kesulitan Citanduy mencapai grade tiga sampai empat, setara dengan Cikandang dan Citarik di Sukabumi. Kalau di bandingkan dengan Cisadane, tingkat kesulitan Citanduy masih di atasnya," ujar Eko.

Degup jantung mulai mengencang, saat tambat dilepaskan. Aba-aba sering dilontarkan sang pemandu. Bila perahu dikayuh ke depan, pemandu mengucapkan kata "maju" dan "mundur" untuk sebaliknya. Para pengarung harus diam jika pemandu mengucapkan "setop".

Sementara itu, jika menghadapi bahaya, pemandu meneriakkan kata "boom", yang serta-merta harus disikapi dengan sigap. Biasanya, penumpang mengangkat dayung sejajar ke atas, dan bila perlu mengambil posisi seperti merebahkan diri.

Tak ada lagi bayang-bayang ketakutan. Semua menikmati petualangan yang menantang itu. Teriakan saling menimpali dengan debur-debur jeram dan arus Citanduy yang menghantam bebatuan. Saat melewati jeram yang "curam" dan bergelombang, sang pemandu memberikan komando waspada. "Booom!" Para pengarung jeram pemula itu tiba-tiba saja menjadi kawakan. Dayung pun diangkat untuk menjaga keseimbangan.

Namun sayang, rute perjalanan tidak dituntaskan sampai Karangresik. Di kawasan Parakanhonje, perahu karet dikayuh ke tepian. Perjalanan sudah ditempuh sekira 1,5 jam. Jika dituntaskan sampai Karangresik, perjalanan ditempuh dalam kisaran 3 sampai 3,5 jam.

Terbuka peluang

Usai berarung jeram, para pengarung tampak berbinar. Ketua PHRI, Wahyu Trirahmadi mengakui, setelah menjalani petualangan itu hatinya terasa lengang. Seperti baru melepaskan beban berat yang selama ini menindih dirinya. Ia pun memandang, boleh jadi, kelak wisata air arung jeram bisa menjadi agenda wisata unggulan Kota atau Kabupaten Tasikmalaya.

"Persoalannya sekarang, tinggal menata manajemen yang terukur. Karena mengelola dunia pariwisata akan terkait dengan faktor penopang lain yang akan saling menguatkan," katanya. Hal senada diungkapkan salah seorang penggiat olah raga di lingkungan Pemerintah Kota Tasikmalaya, Drs. Bambang Sudaryana, M.Si.

"Kita punya potensi. Potensi itu baru bisa diubah dari peluang menjadi kenyataan bila kita peka," katanya. Sudah saatnya, imbuh Bambang, ada inovasi untuk mengembangkan wisata air di kawasan kota meskipun radius arung jeram akan beririsan dengan beberapa wilayah. Alasannya, Sungai Citanduy ada dalam lintasan beberapa daerah otonom.

Paling tidak, rute yang ditempuh saat ini mencakup Pemkab Ciamis, Tasikmalaya, dan Pemkot Tasik. "Persoalan itu nanti bisa dibicarakan. Kenapa tidak, nantinya ada kerja sama lintas kabupaten dan kota," katanya. Kalaupun ada investor yang tertarik mengelola wisata air arung jeram, sesepuh Nokken, Socahyana, perlu dipersiapkan dengan serius.

Pengadaan perlengkapan, seperti perahu karet, pelampung, dayung, dan perlengkapan lainnya memerlukan dana besar. Perahu karet jenis avon, harganya sekira Rp 90 jutaan, sedangkan boogie atau perahu karet lokal berkisar Rp 20 jutaan. Perlengkapan lainnya pun harganya cukup lumayan, satu pelampung nilainya antara Rp 200.000,00 sampai Rp 400.000,00. Sedangkan dayung, harga satuannya bisa mencapai antara Rp 150.000,00 sampai Rp 400.000,00.

Kalau sudah berjalan, setiap penumpang yang akan mengikuti petualangan arung jeram, menurut salah seorang pemandu, Arif Barkah, harus membayar Rp 200.000,00 per orang. "Di Bogor, harganya berada dalam kisaran itu," katanya. (Duddy RS/"Priangan")***

No comments: